Kemerosotan daya
dukung
alam yang disebabkan oleh ambisi
para revolusioner untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi
menyebabkan para pemerhati lingkungan harus pusing tujuh keliling menghadapi
hal-hal degradasi lingkungan ataupun hal yang terkait tentang Global warming . Berbagai carapun
dilakukan ,mulai dari melaksanakan seminar –seminar tentang lingkungan hingga menetapkan
Hari Bumi ,Hari Lingkungan ,Hari Air dan hari-hari lainnya yang berhubungan dengan lingkungan
untuk diperingati .Lembaga pemerhati lingkungan dunia (UNEP) pun tidak mau
kalah untuk menangani masalah lingkungan
,Sebagai perwujudan dari hal itu , Lembaga tersebut melaksanakan program
“green economy” atau ekonomi hijau .
Menurut Achim Steiner, Direktur Eksekutif UNEP ,Ekonomi
hijau adalah kunci menuju pola pembangunan yang berkelanjutan
dan menghapus kemiskinan. Program ini pastinya agak bertolak
belakang dengan cara
pandang para pengusaha
yang menjunjung tinggi prinsip
ekonomi . Dalam berkontribusi di program
ini ,suatu perusahaan akan mengeluarkan
modal lebih untuk mengelola limbah atau menggunakan alat yang
dapat meminimalisir kerusakan lingkungan . Ini mungkin membebani para pengusaha
tersebut karena biaya yang dibutuhkan
untuk mendaur ulang
, mengelola limbah dan menggunakan
inventaris yang ramah
lingkungan bisa saja seharga dengan setengah harga dari
perusahaan yang mereka
kelola . Bisa saja pengelolaan limbah tersebut
menjadikan para pengusaha gulung tikar
karena sebagian dari mereka mengalami
yang namanya “Besar pasak daripada tiang” apalagi dalam skala pengusaha yang baru memulai
usahanya . Pengusaha mana sih
yang mau rugi
? Jadi , peluang para pelakon ekonomi di Indonesia
untuk mencemari lingkungan dalam setiap tindak tanduknya
sangatlah besar . Ironisnya , hukuman yang harusnya bisa mengisolasi orang-orang seperti itu malah
kabur dan hampir hilang . Malahan anggaran mereka cenderung dialokasikan untuk menyuap
para aparat untuk mendapatkan
perijinan dan tetek bengek semacam itu . Contoh nyata sebagai refleksi masalah ini adalah Lumpur Lapindo
. Sudah genap 6 tahun
masalah ini berlarut
bahkan menguap tak ada kabarnya hanya karena
si Penimbul Masalah mempunyai kekuatan untuk menyuap para pihak yang
berurusan dengan masalah ini , padahal kerugian yang ditimbulkan sangatlah besar hingga meraup
uang negara sebesar
8,6 triliun terhadap lingkungan . Alih
– alih, “ekonomi hijau” hanyalah semboyan yang dijadikan kedok oleh para penguasa ekonomi . Kenyataanya , jika lingkungan telah rusak
, akan membutuhkan dana yang selangit untuk memperbaikinya
seperti peristiwa yang terjadi pada tahun 1948
silam di bagian barat Pennisilvania.
Baru-baru ini data dari studi
kasus Universitas Adelaide , Australia, menyebutkan bahwa Brasil, Amerika Serikat, China dan Indonesia
sebagai negara pemberi
kontribusi terbesar pada kerusakan lingkungan. Hadirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di KTT Bumi di
Rio de Janiero, Brasil, 20-22 Juni 2012 , agar Indonesia
tidak dianggap ikut-ikutan Ekonomi Hijau sebagai alibi belaka. Tentu saja hal
ini butuh kesinergisan
antara pemerintah dan pelopor ekonomi swasta baik
pengusaha menengah keatas maupun menengah kebawah . Kalau masalah lumpur Lapindo
saja belum selesai ,mengapa pemerintah berani ikut-ikutan
berkoar tentang Ekonomi hijau . Ekonomi hijau untuk indonesia hanyalah terkesan muluk –muluk dan terlalu
banyak angan-angan .Dalam menjalankan sistem pemerintahan
saja , mereka yang duduk
di kursi parlemen saja masih belum bisa merefleksikan
pancasila yang murni dan konsekuen. Intinya , selama praktek KKN masih
merajalela dan kurangnya responsibel dari berbagai
pihak, Indonesia tidak akan bisa menggapai
yang namanya “Green Economy”.